Friday, February 3, 2017

sumber: http://nasional.kompas.com/

Oleh: Cevin Bimantara (Ilmu Pemerintahan 2015)

Perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam politik. Namun begitu, hambatan yang timbul diantaranya karena faktor budaya, menyebabkan representasi politik perempuan di parlemen masih sangat rendah. Sebagai upaya mengejar ketertinggalan tersebut, disahkan Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 yang memberikan quota minimal 30 persen bagi perempuan di parlemen.

Pada awalnya UU ini dikeluarkan sebagai jawaban atas kebijakan pemerintahan yang dianggap memihak laki-laki sehingga pemerintah memutar otak untuk mencari solusi agar terjadi perubahan dan dirumuskan UU ini dengan maksud perempuan akan “menyurakan” isu-isu kesetaraan hak.

Ketika kuota 30 persen representasi politik perempuan sudah berhasil diraih, hal ini terbentur oleh permasalahan yang ada di pencalonan caleg kita. Data Puskapol UI menunjukan bahwa 36% anggota legislatif perempuan terpilih karena politik kekerabatan dengan elit yang berkuasa.

Caleg perempuan yang menang pada umumnya adalah figur yang memiliki jaringan kekerabatan dengan elit politik dan elite ekonomi. Sebagian besar dari mereka adalah adik, kakak, ataupun istri dari penguasa/pejabat politik, elite ekonomi, bahkan artis, serta petinggi partai politik yang mencalonkan mereka.

Pahit diakui bahwa pada dasarnya ketertarikan masyarakat khususnya perempuan terhadap politik khususnya di daerah terpencil belum mencapai angka yang ideal untuk pemenuhan kuota 30%, hal ini menjadikan proses “kejar setoran” pada pemenuhan kuota tersebut.

Saleh Husin dalam pesan singkatnya megemukakan "Saya kira semua partai politik untuk memenuhi kuantitas kuota 30 persen perempuan tidak akan ada masalah termasuk Hanura, yang jadi masalah justru kualitasnya terutama di tingkat kabupaten," kata ketua DPP Hanura Saleh Husin, Senin (1/4/2013). Apalagi menurutnya, di daerah terpencil minat perempuan untuk menjadi caleg masih sangat rendah. "Akibatnya untuk memenuhi kuantitasnya guna memenuhi aturan tersebut maka dilakukan asal comot tanpa memperhatikan kualitasnya," lanjutnya. "Dan bisa dibayangkan tiba-tiba pada Pemilu nanti justru mereka yang terpilih karena sistemnya terbuka maka produk yang dihasilkan di parlemen pun tentu kualitasnya akan menurun pula."

Bagi saya pribadi laki-laki maupun perempuan tak seketika mencerminkan kualitas. Seorang wakil rakyat yang baik apakah dia laki-laki atau perempuan sadar bahwa dia dipilih oleh rakyat yang terdiri dari kaum laki-laki dan perempuan. Maka tugas mereka adalah mengemban amanat rakyat dan itu bersentuhan dengan hajat hidup semua gender. Tidak berarti jika ia seorang anggota DPR laki-laki, maka dia boleh abai pada kepentingan kaum perempuan, begitupula sebaliknya.


Perlu dilakukan banyak informasi bahwa perempuan bisa dan mampu bila menjadi bagian dari pembuat kebijakan. Dengan demikian diharapkan 30 persen kuota calon legislatif perempuan terpenuhi tidak hanya secara kuantitas, tapi juga kualitas.

Sumber: http://www.takepart.com/

Oleh: Raden Alika Fatimah Zahra (Ilmu Pemerintahan 2014)

Berbicara mengenai perempuan biasanya berbicara juga mengenai tatanan social yang mengurungnya. Tidak dapat dipungkiri, di negara kita ini budaya patriarki masih dengan kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat. Perempuan yang secara kuantitas lebih banyak daripada laki-laki dianggap memiliki kualitas yang lebih rendah dari pada laki-laki (inferior). Hal ini berkaitan juga dengan bagaimana perempuan di bangun melalui salah satunya ‘Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam’, yang jelas menjadikan perempuan sebagai bagian dari laki-laki namun tidak sebaliknya. Bagaimana sesuatu yang ‘satu’ dapat menjadi ‘satu’ apabila ada sesuatu yang lainnya.

Berbicara mengenai perempuan tidak terlepas juga dari pembicaraan mengenai tubuh. Berbicara mengenai tubuh, berarti berbicara juga mengenai politik karena kaitan yang sangat erat dalam “body politics”. Susan Bordo dalam bukunya menuliskan bahwa “tubuh manusia itu sendiri adalah sebuah entitas politik tertulis , fisiologi dan morfologi yang dibentuk oleh sejarah dan praktek-praktek penahanan dan kontrol.” Politik sering disamakan dengan upaya-upaya untuk mencapai kekuasaan. Foucault, yang merupakan seorang gender-neutral, dalam wacananya mengakui bahwa kekuasaan-wacana itu berpusat pada laki-laki.

Dalam pelaksanaan politik praktis di Indonesia, awalnya perbandingan perempuan dan laki-laki dalam parlemen atau pemerintahan sangat jauh. Namun belakangan ini sudah mulai banyak perempuan yang ikut berpartisipasi di dalamnya terlebih setelah dikeluarkannya UU no 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD yang disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan yaitu kuota perempuan paling sedikit sebanyak 30%. Namun kebijakan ini menimbulkan kekurangan yang lain, yaitu sikap parpol yang tidak serius dalam mengkader perempuan. Perempuan hanya dijadikan syarat untuk memenuhi kuota, bukan agar benar-benar ada keterwakilan perempuan di parlemen sana.

Secara umum jumlah keterpilihan pe rempuan sebagai anggota legislatif hasil Pemilu 2014 mengalami penurunan di bandingkan Pemilu 2009. Berikut per olehan kursi anggota legislatif 2014- 2019: DPR RI : Perempuan 97 (17,3%), Laki-laki 483 (86,3%) ; DPD RI : Perempuan 34 (25,8%), Laki-laki 98 (74,2%) ; DPRD Provinsi : Perempuan 335 (15,85%), Laki-laki 1.779 (84,5%) ; DPRD Kabupaten/Kota : Perempuan 2.406 (14,2%), Laki-laki 12.360 (85,8%).

Perempuan dan politik adalah wacana yang menarik diperbicangkan bahkan, menjadi suatu yang politis untuk di perdebatkan. Hal ini disebabkan oleh fakta, ketika politik ditempatkan di wilayah publik, definisi, konsep, dan nilainilai yang dikandungnya selalu menempatkan perempuan di luar area tersebut. Politik didefinisikan sebagai sesuatu yang negative di mana hanya mengejar kekuasaan semata, dan kekuasaan didominasi oleh laki-laki. Sayangnya, hingga saat ini perkembangan perempuan dalam politik masih sebatas perdebatan tentang partisipasi dan representasi, yang disebabkan oleh kebijakan dengan indicator kuantitatif. Kuota 30 persen untuk reprensentasi politik perempuan, adalah salah satu indikator tersebut. Sebagai afirmative action (tindakan khusus), kuota memang tak boleh melupakan kualitas dari representasi tersebut.

Perempuan harus memimpin dalam mewujudkan dan melaksanakan sistem, struktur, kebijakan, dan program yang diperlukan agar bukan menjadi suatu hal yang tidak mungkin, kesetaraan gender benar-benar terlaksana. Perempuan harus mengembangkan dirinya, agar SDM perempuan yang secara kuantitas lebih banyak dari pada laki-laki dapat mengimbangi pula dalam kualitasnya. Dengan cara seperti itulah, lambat laun perempuan akan mendapatkan tempat yang sama juga kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam berbagai segmen. Jangan lagi ada buruh perempuan yang termarjinalkan karena mudah didapat, murah, dan dapat diperlakukan semena-mena. Perempuan yang menginginkan perubahan akan belajar dan mengembangkan diri semaksimal mungkin agar keluar dari tatanan. Ketika patriarki dalam suatu tatanan –yang mempunyai tujuan untuk melindungi perempuan malah mengsubordinasikan peran perempuan itu sendiri. Ditambah lagi, saat ini sudah banyak orang yang peduli terhadap isu perempuan yang juga merupakan isu humanitas, dan juga sudah mulai dibuat peraturan-peraturan yang memungkinkan perempuan bukan hanya ikut berpartisipasi, tetapi juga ikut membawa perubahan.

Referensi :

Angela King, “The Prisoner of Gender : Foucault and the Disciplining of the Female Body”, Journal of International Women’s Studies Vol. 5, Maret 2004.
“Perempuan dan Politik”, www.indoprogress.com
Rosemary Putnam Tong, “Feminist Thought”, Jogjakarta : Jalasutra.

Categories

Blog Archive

Powered by Blogger.

Popular Posts

Recent Posts

Instagram